Situasi ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu tetapi juga mengaburkan batas antara kondisi psikologis normal dan gangguan klinis. Ketika emosi biasa dianggap sebagai penyakit mental, masyarakat bisa kehilangan pemahaman yang benar mengenai apa yang sebenarnya memerlukan bantuan profesional.
Peran Algoritma dalam Mempengaruhi Pemahaman
TikTok menggunakan algoritma untuk menyajikan video berdasarkan minat pengguna. Meskipun hal ini membuat konten terasa lebih relevan, ada risiko "echo chamber", di mana pengguna hanya disuguhkan konten sejenis berulang kali. Hal ini memperkuat pandangan yang mungkin keliru dan membentuk persepsi bahwa informasi tersebut adalah kebenaran mutlak.
Sebagai contoh, video tentang gangguan kecemasan atau depresi yang viral bisa membuat seseorang yang merasa sedih sesaat langsung berpikir bahwa ia mengalami depresi klinis.
Baca Juga: Viral! Perusahaan Ramai Memecat Generasi Gen Z: Ini Kata Psikolog
Validasi dari komentar pengguna lain sering kali membuat keyakinan ini semakin kuat, padahal belum ada penilaian medis yang mendasari.
Validasi Sosial yang Menjebak
Salah satu daya tarik utama terapi TikTok adalah adanya validasi sosial melalui like, komentar, dan bagikan. Ketika seseorang membagikan pengalamannya dan mendapat dukungan dari banyak orang, mereka merasa lebih dipahami dan diterima.
Sayangnya, validasi ini bisa menjadi jebakan jika justru memperkuat keyakinan yang salah tentang kondisi mental mereka.
Hal ini menjadi lebih berbahaya ketika pengguna merasa cukup hanya dengan validasi daring tanpa mencari bantuan profesional. Padahal, dukungan emosional dari komunitas online tidak dapat menggantikan intervensi medis atau terapi dari tenaga ahli.
Risiko Misinformasi dalam Kesehatan Mental
Menurut penelitian, lebih dari 83% saran kesehatan mental di TikTok tidak akurat. Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena informasi keliru dapat mengarahkan pada keputusan yang salah.
Misalnya, seseorang mungkin merasa cukup mengandalkan teknik relaksasi yang dipelajari dari video, padahal kondisinya memerlukan terapi intensif dari profesional.
Ketika informasi tidak didasarkan pada bukti ilmiah dan hanya berasal dari pengalaman pribadi, risiko terjadinya misinformasi semakin besar.
Beberapa pengguna mungkin melakukan pengobatan mandiri tanpa arahan dari tenaga kesehatan, yang justru bisa memperparah kondisi.
Baca Juga: “Gut Health” dan Kesehatan Mental: Apa Hubungan Usus dengan Mood Kamu?
Meningkatkan Literasi Digital
Menyadari bahaya ini, penting bagi pengguna media sosial untuk meningkatkan literasi digital. Memahami cara kerja algoritma dan menyaring informasi sebelum mempercayainya adalah langkah bijak untuk mencegah kesalahpahaman.
Artikel Terkait
Curhat di Medsos, Hasyakyla Kecewa Berobat di Rumah Sakit Premier Bintaro Saat Demam 38°
Viral! Perusahaan Ramai Memecat Generasi Gen Z: Ini Kata Psikolog
Viral Istilah Jam Koma di Kalangan Gen Z: Ini Kata Psikolog!
Trend Medsos Viral Makan Baso Pakai Micin 1Bungkus: Ini Dia Mnafaat dan Resikonya!
Dulu Penyakit Orang Tua, Kini Kanker Kolorektal Mengintai Kalangan Gen Z