SURATDOKTER.com - Marah adalah emosi yang wajar dialami setiap orang. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, marah dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan, terutama kesehatan jantung.
Penelitian dari Johns Hopkins dan beberapa institusi kesehatan terkemuka lainnya menunjukkan bahwa kemarahan yang sering dan tidak terkendali dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, termasuk serangan jantung dan stroke.
Risiko Serangan Jantung dan Stroke
Menurut studi tahun 2014 yang diterbitkan dalam European Heart Journal, risiko serangan jantung meningkat hampir lima kali lipat dalam dua jam setelah ledakan kemarahan.
Risiko stroke juga meningkat tiga kali lipat pada periode yang sama. Semakin sering atau intens ledakan emosi yang terjadi, semakin besar risiko seseorang mengalami masalah jantung.
Baca Juga: Penyebab Penuaan Dini Apakah Benar Karena Kebiasaan Sepele ini? Salah Satunya Mudah Marah
Apa yang menyebabkan ini terjadi? Saat seseorang marah, tubuh memproduksi hormon stres yang disebut katekolamin.
Hormon ini meningkatkan tekanan darah dan berkontribusi pada pembentukan plak yang menyumbat arteri.
Dalam jangka panjang, penumpukan plak ini dapat menyebabkan penyakit arteri koroner.
Dampak Jangka Pendek pada Jantung
Dampak kemarahan pada jantung tidak hanya terjadi dalam jangka panjang. Dr. Ilan Wittstein, seorang pakar dari Johns Hopkins, menjelaskan bahwa lonjakan katekolamin akibat kemarahan dapat memicu serangan jantung mendadak, irama jantung yang mematikan, atau melemahkan otot jantung.
Kondisi ini dikenal sebagai stress cardiomyopathy atau sindrom patah hati, yang lebih sering terjadi pada wanita.
Cara Mengelola Kemarahan dengan Sehat
Berita baiknya, dampak buruk kemarahan dapat dicegah dengan pengelolaan emosi yang baik. Berikut beberapa cara yang direkomendasikan untuk mengelola kemarahan secara sehat:
1. Beri Waktu untuk Menenangkan Diri
Ketika emosi memuncak, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mengambil jeda. Berhenti sejenak dari situasi yang memicu kemarahan dapat membantu seseorang berpikir lebih logis.
Misalnya, menghitung hingga 10 atau berjalan menjauh dari situasi tersebut dapat menghentikan kebiasaan bereaksi secara impulsif.