Reaksi ini muncul sebagai bentuk pertahanan diri. Anak yang terus-menerus diserang akan merasa perlu untuk menyerang balik — entah secara verbal, fisik, atau melalui perilaku merusak lainnya.
Semakin lama kekerasan terjadi, semakin dalam luka yang tertanam, dan semakin besar potensi anak mengulang siklus tersebut di masa depan.
Bukan Sekadar Meniru, Tapi Akibat dari Emosi yang Terpendam
Perilaku pemarah pada anak bukan hanya soal meniru. Sering kali, anak menyimpan kemarahan yang tidak tersampaikan karena rasa takut, kecewa, atau tidak dianggap.
Ketika emosi itu terus menumpuk tanpa saluran yang sehat, maka meledak menjadi perilaku kasar.
Anak yang tumbuh di bawah tekanan atau sering dikritik tanpa empati juga akan kehilangan kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosinya.
Mereka tidak diajarkan bagaimana menenangkan diri, tetapi justru dipaksa untuk patuh dalam ketakutan.
Baca Juga: Pikir Dua Kali Sebelum Marah: Emosi Buruk Tingkatkan Resiko Terkena Kanker!
Hubungan Antara Pola Asuh dan Kesehatan Mental
Studi dalam bidang psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan lebih rentan mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan, depresi, atau perilaku antisosial.
Mereka juga cenderung mengalami kesulitan menjalin hubungan sosial yang sehat karena terbiasa dengan pola relasi yang penuh tekanan.
Selain itu, otak anak yang terus-menerus terpapar stres akan mengalami perubahan cara kerja.
Area otak yang bertugas mengatur emosi, empati, dan pengambilan keputusan bisa terganggu.
Inilah yang membuat anak lebih sulit mengendalikan amarah, dan lebih mudah terdorong untuk bertindak impulsif.
Apakah Pola Ini Bisa Diputus?