SURATDOKTER.com - Istilah guilt tripping merujuk pada perilaku yang bertujuan membuat seseorang merasa bersalah untuk memengaruhi atau mengubah tindakan, perasaan, atau pemikiran mereka.
Meski rasa bersalah adalah emosi alami yang dapat membantu seseorang belajar dari kesalahan, penggunaannya sebagai alat manipulasi sering kali merusak hubungan dan kesejahteraan emosional.
Ciri-Ciri Perilaku Guilt Tripping
Tindakan guilt tripping bisa terjadi secara halus atau jelas. Seseorang mungkin tidak langsung menyadari bahwa ia sedang dimanipulasi. Beberapa ciri umum perilaku ini antara lain:
Baca Juga: Mau Membangun Hubungan yang Sehat? Kenali 10 Tanda Red Flag yang Harus Diwaspadai
- Untuk menekan rasa bersalah mereka akan mengingatkan tentang masalah di masa lalu.
- Memberikan komentar yang merendahkan usaha atau kontribusi seseorang.
- Menggunakan kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya sebagai alat untuk menuntut balas budi.
- Menunjukkan ekspresi tubuh, nada suara, atau raut wajah yang menandakan ketidaksetujuan secara pasif.
- Memberikan perlakuan diam atau bersikap pasif-agresif.
- Menyiratkan bahwa seseorang "berutang" atas sesuatu.
- Menggunakan komentar sarkastik untuk melemahkan rasa percaya diri.
Jenis dan Tujuan Guilt Tripping
Perilaku ini sering digunakan dengan berbagai tujuan, seperti:
1. Manipulasi: Membuat orang lain melakukan sesuatu yang biasanya tidak mereka inginkan.
2. Penghindaran Konflik: Memperoleh keinginan tanpa harus terlibat dalam diskusi atau konflik langsung.
3. Pendidikan Moral: Memotivasi seseorang untuk bertindak sesuai standar moral yang diyakini oleh pelaku.
4. Mencari Simpati: Menempatkan diri sebagai korban untuk mendapatkan perhatian atau dukungan emosional.
Baca Juga: Mengenal Istilah Stashing dalam Hubungan: Kenali Tanda-tanda dan Dampaknya!
Dampak Negatif pada Hubungan dan Kesejahteraan
Meskipun rasa bersalah memiliki sisi positif dalam memperbaiki kesalahan, perilaku guilt tripping yang berulang justru membawa lebih banyak dampak buruk.
1. Kerusakan Hubungan: Penelitian menunjukkan bahwa rasa bersalah yang dipaksakan dapat merusak hubungan emosional. Orang yang sering menjadi sasaran manipulasi ini cenderung merasa jauh lebih buruk tentang hubungan mereka.
2. Kebencian: Perasaan dimanipulasi dapat memicu rasa dendam yang berkepanjangan, mengurangi kedekatan emosional, dan bahkan mengarah pada perpecahan.
3. Reaktansi: Ketika rasa bersalah terlalu kuat, individu mungkin malah bereaksi berlawanan dengan apa yang diinginkan pelaku. Misalnya, seseorang yang diminta sering menghubungi justru memilih menghindar.