Sulit berkolaborasi.
Orang dengan mentalitas ini cenderung ingin bersaing dalam segala hal, bahkan dengan teman sendiri.
Jika perilaku seperti ini dibiarkan, lingkungan sosial bisa menjadi toksik dan tidak produktif — semua sibuk menjatuhkan, bukan membangun.
Baca Juga: Cara Menghadapi Tekanan Kerja agar Kesehatan Mental Tetap Terjaga
Penyebab di Balik Crab Mentality
Psikolog menyebut crab mentality sebagai hasil dari rasa tidak aman kronis dan pola asuh kompetitif sejak kecil.
Beberapa faktor yang sering memicu perilaku ini antara lain:
-
Kurangnya penghargaan diri (self-worth).
Orang dengan harga diri rendah sering mengukur nilainya melalui perbandingan sosial. -
Lingkungan yang terlalu menuntut.
Di keluarga atau tempat kerja yang menilai seseorang hanya dari hasil, muncul rasa takut tertinggal. -
Budaya kolektif yang tidak sehat.
Dalam beberapa masyarakat, solidaritas sering disalahartikan. Jika satu orang naik, dianggap “meninggalkan kelompok.” -
Trauma sosial.
Pengalaman diremehkan atau gagal di masa lalu bisa membuat seseorang sulit menerima kesuksesan orang lain.
Dampak Crab Mentality bagi Kesehatan Mental
Crab mentality tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental pelakunya.
Rasa iri dan dengki yang terus-menerus menimbulkan stres, kelelahan emosional, bahkan depresi ringan.
Selain itu, individu dengan mentalitas ini sering terjebak dalam lingkaran perbandingan tanpa akhir, yang membuat hidup terasa tidak pernah cukup.
Bagi korban perilaku crab mentality, dampaknya pun tak kalah serius. Mereka bisa kehilangan motivasi, percaya diri, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial karena takut disabotase atau dijatuhkan.
Cara Mengatasi dan Mencegah Crab Mentality
Untuk keluar dari pola pikir ini, dibutuhkan kesadaran diri dan latihan mental yang konsisten. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
-
Sadari bahwa keberhasilan orang lain bukan ancaman.
Kesuksesan bukan kompetisi tunggal; setiap orang memiliki waktu dan jalannya masing-masing. -
Bangun self-worth yang sehat.
Fokus pada pertumbuhan diri, bukan perbandingan. Catat pencapaian pribadi sekecil apa pun. -
Latih empati dan apresiasi.
Belajar memberi ucapan selamat dengan tulus bisa membantu memperkuat rasa aman diri. -
Bergaul dengan lingkungan suportif.
Hindari kelompok yang senang bergosip atau menjatuhkan orang lain.
Artikel Terkait
Ketika Anak Mulai Mengandalkan ChatGPT untuk PR: Begini Cara Orang Tua Menyikapinya
Memahami Psikologi Pasangan: Kunci Hubungan yang Harmonis
Kenapa Pasangan Sering Salah Paham? Begini Penjelasan Psikologinya
Cara Menghadapi Tekanan Kerja agar Kesehatan Mental Tetap Terjaga
Sangat Bepengaruh! Ini Efek Trauma Masa Kecil terhadap Pola Komunikasi Dewasa