SURATDOKTER.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menjadi salah satu agenda besar pemerintah dalam memperkuat gizi anak Indonesia. Namun, di tengah pelaksanaannya, muncul isu baru: harga ayam dan telur yang ikut naik di sejumlah daerah.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menilai bahwa peningkatan harga tersebut wajar terjadi karena meningkatnya konsumsi dari ribuan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang kini aktif beroperasi di seluruh Indonesia.
Permintaan Daging dan Telur Meningkat Tajam
Sejak program MBG mulai berjalan, kebutuhan bahan pangan seperti ayam dan telur melonjak signifikan. Setiap dapur SPPG, rata-rata melayani sekitar 3.000 penerima manfaat setiap hari.
Dadan menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut, satu dapur bisa menghabiskan sekitar 350 ekor ayam untuk satu kali masak. Jika dikalikan dua kali seminggu, maka dalam sebulan satu dapur bisa membutuhkan hampir 2.800 ekor ayam.
Dengan jumlah dapur aktif yang sudah mencapai lebih dari 10.600 SPPG, kebutuhan ayam nasional meningkat secara drastis. Tidak hanya daging, konsumsi telur pun melonjak. Untuk satu kali penyajian, satu dapur bisa membutuhkan lebih dari 3.000 butir telur yang dipasok dari sedikitnya 4.000 ayam petelur.
Kebutuhan Gizi Tinggi, Produksi Harus Mengikuti
Kenaikan permintaan ini tidak semata akibat program MBG semata, tetapi juga karena pola makan masyarakat mulai membaik. Namun, kondisi tersebut perlu diimbangi dengan produksi ternak yang berkelanjutan.
Dadan menekankan bahwa bila pasokan tidak diperkuat, maka akan muncul risiko kelangkaan bahan dan peningkatan harga di pasar. Ia menilai penting untuk mendorong munculnya peternak-peternak baru agar suplai ayam dan telur tetap stabil.
“Pertumbuhan kebutuhan gizi masyarakat harus diikuti dengan kapasitas produksi yang memadai,” ujarnya dalam kesempatan berbeda.
Dampak Ekonomi: Dari Surplus ke Peluang Baru
Sebelum program MBG berjalan penuh, Indonesia sebenarnya berada dalam posisi surplus ayam dan telur. Pada awal 2025, BGN mencatat surplus 200 ribu ton telur dan 600 ribu ton ayam.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 persen penduduk Indonesia yang mampu membeli protein hewani tersebut secara rutin. Sementara, sebagian besar anak-anak Indonesia masih kekurangan asupan gizi, terutama protein dari daging dan telur.
Program MBG hadir untuk menjembatani ketimpangan itu. Dengan menyerap hasil peternakan lokal secara besar-besaran, program ini secara tidak langsung menggerakkan roda ekonomi di sektor peternakan dan memberi manfaat bagi para pelaku usaha kecil di daerah.
Dukungan dari Dewan Ekonomi Nasional
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang menilai program MBG menjadi pemicu positif bagi sektor pangan nasional.
Menurutnya, selama dua dekade Indonesia sebenarnya memiliki stok ayam dan telur berlebih, namun daya beli masyarakat rendah.
Dengan program MBG, kebutuhan gizi terpenuhi dan rantai distribusi pangan menjadi lebih hidup. Pemerintah juga mendapatkan data real-time mengenai konsumsi protein nasional untuk merancang kebijakan gizi yang lebih akurat di masa depan.
Artikel Terkait
Kemenkes Turun Tangan Awasi Program MBG, dari Kualitas Bahan Makanan hingga Efektivitas Gizi Anak Sekolah
Setelah Kasus Keracunan Massal, BGN Lakukan Evaluasi Total: Wacana Kantin Sekolah Jadi Dapur MBG Mulai Mencuat
Kisruh Program Makan Bergizi Gratis: Dapur MBG Panakkukang Diduga Tutup karena Patokan Rp6.500 per Porsi, Ratusan Siswa Terdampak
5 Sorotan Aliansi terhadap BGN: Dari Kritik Kebijakan Rollback hingga Dugaan Jual Beli Titik Dapur MBG
Menkeu Purbaya Siap Pangkas Anggaran MBG Jika Tak Terserap, Luhut Sebut Dampak Ekonomi Sudah Terlihat