SURATDOKTER.com - Di tengah berkembangnya tren olahraga berbasis aplikasi, muncul fenomena unik sekaligus kontroversial di kalangan pengguna Strava.
Platform yang awalnya dirancang untuk mencatat aktivitas lari dan memantau perkembangan latihan ini, kini diwarnai dengan praktik menyewa “joki” untuk berlari atas nama pemilik akun. Fenomena ini dikenal sebagai joki Strava.
Prinsipnya sederhana: pemilik akun membayar seseorang untuk berlari di rute atau lomba tertentu, lalu mengunggah hasilnya ke profil pribadi seolah mereka sendiri yang melakukannya. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai cara cepat untuk terlihat hebat di dunia maya—tanpa perlu berkeringat.
Tekanan Tampil Sempurna di Media Sosial
Secara psikologis, dorongan untuk tampil sempurna di media sosial bisa memengaruhi perilaku pengguna aplikasi olahraga. Media sosial menciptakan ruang untuk membandingkan diri dengan orang lain. Hasil lari yang memukau dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memperoleh pengakuan dari komunitas.
Baca Juga: 7 Cara Ampuh Agar Tidak Malas Lari Setiap Hari: Bangkitkan Semangat, Jaga Jantung!
Bagi mereka yang sedang cedera, sibuk, atau kehilangan motivasi, menyewa joki dianggap sebagai jalan pintas untuk mempertahankan citra diri. Tantangan virtual dan lomba online yang menawarkan hadiah atau pengakuan publik juga semakin memperkuat daya tarik tren ini. Dalam konteks ini, reputasi digital menjadi aset yang dipertahankan layaknya prestasi nyata.
Aspek Etika dan Kejujuran dalam Olahraga
Olahraga pada dasarnya adalah proses yang menekankan pencapaian pribadi melalui kerja keras, disiplin, dan konsistensi. Menggunakan jasa joki berarti memalsukan hasil, yang berpotensi merusak esensi olahraga itu sendiri.
Di Strava, papan peringkat dan rekor pribadi menjadi kurang relevan jika diisi oleh data yang tidak mencerminkan kemampuan asli. Hal ini bisa menurunkan semangat para pelari yang berlatih secara jujur, serta mengaburkan batas antara pencapaian nyata dan pencitraan semu.
Kisah Nyata dari Indonesia
Fenomena ini tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga marak di Indonesia. Salah satu contohnya datang dari seorang remaja berusia 17 tahun yang mematok tarif berbeda berdasarkan kecepatan lari. Untuk kecepatan 4:00 menit/km, tarifnya sekitar Rp10.000 per kilometer, sedangkan kecepatan 8:00 menit/km dibanderol Rp5.000 per kilometer.
Baca Juga: Jaga Kesehatan Jantung dengan Lari: Olahraga Sederhana yang Penuh Manfaat
Pekerjaan terbesar yang pernah ia terima menghasilkan sekitar Rp100.000, jumlah yang setara lebih dari 5 persen upah minimum bulanan di Indonesia. Meski nilainya terlihat kecil, fenomena ini menunjukkan bahwa “olahraga atas nama orang lain” bisa menjadi sumber penghasilan baru—walau dibalut kontroversi.
Artikel Terkait
Manfaat Lari 30 Menit, Ternyata Dapat Mengatasi Patah Hati
Ketahui Bahaya Lari Terlalu Kencang di Treatmill: Pahami Trik Olahraga ini yang Benar
Lari vs. Jalan Kaki: Mana yang Lebih Baik untuk Kesehatan? Jawabannya Mungkin Mengejutkan!
Jaga Kesehatan Jantung dengan Lari: Olahraga Sederhana yang Penuh Manfaat
7 Cara Ampuh Agar Tidak Malas Lari Setiap Hari: Bangkitkan Semangat, Jaga Jantung!