Ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan hanya soal sah atau tidaknya secara adat, tetapi tentang kesiapan hidup secara menyeluruh.
Pihak desa dan tokoh adat mengakui bahwa mereka berada dalam tekanan sosial dan budaya yang kuat. Ketika seorang anak perempuan telah ‘dibawa lari’, masyarakat menuntut pernikahan sebagai bentuk tanggung jawab. Di sisi lain, banyak dari mereka yang belum sepenuhnya memahami konsekuensi hukum dan sosial dari pernikahan anak.
Ke depan, peran edukasi menjadi sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih dalam mengenai dampak negatif pernikahan di usia muda serta perlunya membangun masa depan anak dengan cara yang lebih bijak.
Kehadiran lembaga perlindungan anak, tokoh agama, dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk menjembatani nilai budaya dengan perlindungan hukum bagi generasi muda.
Kasus di Lombok ini seharusnya menjadi peringatan bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas bersama. Budaya memang bagian dari identitas, namun tidak boleh mengorbankan masa depan anak. Dengan menegakkan hukum dan memperluas akses edukasi, diharapkan anak-anak Indonesia bisa tumbuh, belajar, dan berkembang tanpa harus kehilangan masa kecil mereka karena dipaksa dewasa sebelum waktunya.***