SURATDOKTER.com - Kuru merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif paling langka dalam sejarah medis. Penyakit ini dikenal karena pernah ditemukan pada suku Fore di Papua Nugini, terutama pada pertengahan abad ke-20.
Kuru termasuk dalam kelompok penyakit prion, yaitu penyakit yang menyerang otak dan menyebabkan kerusakan jaringan saraf secara progresif. Keunikannya terletak pada mekanisme penyebaran dan gejalanya yang tidak biasa, sehingga menjadi bahan penelitian para ahli saraf, antropolog, dan epidemiolog.
Baca Juga: Hypertrichosis: Kondisi Pertumbuhan Rambut Berlebihan yang Masih Menjadi Misteri Medis
Apa Itu Penyakit Kuru?
Kuru adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat secara perlahan.
Kondisi ini masuk dalam kategori transmissible spongiform encephalopathy (TSE), yaitu gangguan otak yang membuat jaringan tampak seperti spons akibat kematian sel-sel saraf.
Penyakit ini memiliki kemiripan dengan Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) dan penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy).
Nama “Kuru” berasal dari bahasa suku Fore yang menggambarkan tremor atau gemetar hebat, salah satu gejala utama penyakit ini.
Bagaimana Penyakit Kuru Menyebar?
Sumber penularan Kuru berasal dari prion, yaitu protein abnormal yang dapat memicu kerusakan otak. Prion tidak memiliki DNA maupun RNA, namun mampu “memaksa” protein normal di otak berubah menjadi bentuk patologis.
Di suku Fore, penyebaran Kuru terjadi melalui praktik ritual pemakaman yang diwariskan secara turun-temurun. Pada masa itu, sebagian anggota suku—terutama perempuan dan anak-anak—mengonsumsi jaringan tubuh kerabat yang meninggal sebagai bentuk penghormatan. Bagian otak yang paling banyak mengandung prion menyebabkan penularan terjadi dengan cepat.
Ketika praktik ini dihentikan pada tahun 1960-an, angka kasus Kuru perlahan menurun hingga nyaris tidak ditemukan lagi pada generasi berikutnya.
Baca Juga: Fibrodysplasia Ossificans Progressiva (FOP): Ketika Jaringan Lunak Berubah Menjadi Tulang
Gejala Kuru dan Tahapan Perkembangannya
Kuru berkembang secara bertahap dan biasanya dibagi menjadi tiga fase. Perjalanan penyakit berlangsung beberapa bulan hingga satu tahun, tergantung tingkat kerusakan saraf.
1. Tahap Awal (Ambulatory Stage)
Pada tahap ini, pengidap masih mampu berjalan, tetapi mulai mengalami:
- tremor halus,
- ketidakseimbangan,
- kesulitan berdiri stabil,
- dan masalah koordinasi ringan.
Gejala sering disangka sebagai kelelahan atau kekurangan gizi.
Artikel Terkait
Benarkah Air Lemon Bisa Menurunkan Berat Badan? Ini Fakta Medis yang Jarang Dibahas
7 Tanda Awal Penyakit Serius yang Sering Dianggap “Capek Biasa"
Fibrodysplasia Ossificans Progressiva (FOP): Ketika Jaringan Lunak Berubah Menjadi Tulang
Hypertrichosis: Kondisi Pertumbuhan Rambut Berlebihan yang Masih Menjadi Misteri Medis
Aquagenic Urticaria: Reaksi Alergi yang Terjadi Saat Kulit Bersentuhan dengan Air