Ketidakseimbangan antara Konsep dan Realisasi
Masalah MBG bukan sekadar teknis penyediaan makanan, tetapi juga terletak pada ketidaksesuaian antara visi gizi dan implementasi di lapangan.
Program ini sejatinya didesain untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak sekolah dasar, terutama di wilayah dengan tingkat rawan gizi dan kemiskinan tinggi.
Namun, dari sejumlah kasus yang muncul, terlihat adanya celah besar dalam rantai pengawasan, mulai dari pemilihan bahan, proses memasak, hingga distribusi ke sekolah.
Ketika kualitas bahan pangan turun atau higienitas dapur diabaikan, hasil akhirnya adalah ancaman serius bagi kesehatan ribuan siswa.
Di sisi lain, godaan menu modern seperti burger dan spageti mungkin dimaksudkan untuk menarik minat anak-anak agar mau makan, tetapi tanpa perhitungan matang justru menjadi bumerang.
Gizi yang baik tidak bisa hanya bergantung pada tampilan makanan, tetapi pada keseimbangan nutrisi dan keamanan pangan yang terukur.
Baca Juga: Pemerintah Wajibkan Dapur MBG Bersertifikat: Dari Kebersihan, Keamanan Pangan hingga Halal
Membangun Kembali Kepercayaan dan Standar Gizi Nasional
Kasus keracunan massal seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk meninjau ulang sistem kerja program MBG.
Krisis ini tidak hanya tentang keamanan pangan, tetapi juga tentang kredibilitas program yang menyentuh jutaan anak sekolah di seluruh Indonesia.
Pemerintah perlu memperkuat tiga aspek penting:
1. Transparansi pengawasan dapur MBG dengan pelibatan masyarakat dan lembaga independen.
2. Standarisasi menu berbasis pangan lokal, yang sehat dan mudah disesuaikan dengan sumber daya daerah.
3. Pendidikan gizi di sekolah, agar siswa memahami pentingnya makanan sehat, bukan sekadar “enak” di lidah.
Ke depan, keberhasilan MBG tidak akan diukur dari jumlah porsi yang dibagikan, tetapi dari seberapa aman, bergizi, dan berkelanjutan sistem pangan yang dibangun untuk generasi muda Indonesia.***