SURATDOKTER.com - Kasus dugaan perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran kembali menjadi sorotan publik setelah RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar mengumumkan keputusan untuk mengeluarkan sejumlah dokter koas dari program pendidikan.
Tiindakan ini diambil setelah muncul dugaan bahwa beberapa peserta didik memberikan komentar tidak pantas di media sosial terkait kematian mahasiswa Universitas Udayana (Unud) bernama Timothy Anugerah Saputra (22).
Langkah cepat ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional dari pihak rumah sakit untuk menjaga integritas serta reputasi dunia medis, terutama dalam ranah pendidikan calon dokter.
Empati yang Hilang di Dunia Kedokteran
Peristiwa ini memunculkan kembali pertanyaan penting: apakah empati masih menjadi nilai utama dalam dunia kedokteran modern?
Banyak pihak menilai bahwa seorang calon dokter seharusnya tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan moral yang tinggi.
Komentar yang dianggap melecehkan korban meninggal menunjukkan adanya celah serius dalam pembentukan karakter tenaga medis.
Pengamat kedokteran menyebut bahwa pelatihan medis seharusnya tidak berhenti pada penguasaan ilmu dan keterampilan klinis, tetapi juga mencakup pendidikan karakter dan etika profesional.
Adam Prabata, dokter sekaligus komunikator medis, menyoroti pentingnya nilai empati dalam profesi ini. Ia menekankan bahwa empati tidak hanya harus diberikan kepada pasien, tetapi juga kepada sesama tenaga medis dan bahkan kepada mereka yang telah berpulang.
Pandangan ini menggambarkan perlunya reformasi budaya akademik di fakultas kedokteran agar tidak menormalisasi perilaku tidak berperasaan.
Dampak Sosial dan Moral yang Lebih Luas
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi institusi pendidikan kedokteran di Indonesia.
Dunia medis adalah dunia yang dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat.
Sekali citra empati dan integritas tercoreng, dampaknya tidak hanya terasa pada individu, tetapi juga pada reputasi lembaga dan profesi secara keseluruhan.
Perilaku yang tidak pantas di ruang digital menunjukkan bagaimana etika kedokteran perlu diadaptasi pada era media sosial. Seorang calon dokter kini tidak hanya dituntut menjaga profesionalitas di rumah sakit, tetapi juga di dunia maya, karena setiap kata bisa memengaruhi kepercayaan publik.