Selain mekanisme pelaksanaan, Said juga menyoroti masalah penyimpanan bahan makanan. Ia menyebut, dengan jumlah produksi ribuan porsi per hari, banyak SPPG yang tidak memiliki fasilitas pendingin (cool storage) memadai. Akibatnya, bahan pangan mudah rusak dan berisiko menimbulkan kontaminasi.
Jika gagasan ini terealisasi, kantin sekolah akan berfungsi ganda: sebagai tempat makan siswa dan sebagai dapur produksi MBG.
Sistem ini dianggap lebih aman karena pengawasan bisa dilakukan langsung oleh pihak sekolah, dengan melibatkan tenaga masak lokal yang mendapat pelatihan dari BGN.
Selain memperkuat sistem keamanan pangan, model ini juga dapat memberdayakan masyarakat sekitar sekolah, seperti orang tua murid dan UMKM penyedia bahan pangan lokal.
Hal ini sejalan dengan misi pemerintah yang ingin menjadikan MBG bukan sekadar program bantuan gizi, tetapi juga sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Program Strategis dengan Tantangan Lapangan
Program Makan Bergizi Gratis merupakan janji politik Presiden Prabowo Subianto yang kini menjadi salah satu agenda besar pemerintahan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia agar tumbuh sehat, cerdas, dan bebas dari stunting.
Namun dalam pelaksanaannya, MBG masih menghadapi banyak tantangan teknis di lapangan, mulai dari distribusi yang tidak merata, keterbatasan tenaga pelaksana, hingga standar sanitasi dapur yang belum seragam.
Dengan munculnya usulan baru dari DPR, diharapkan pemerintah dapat menemukan formulasi terbaik untuk memastikan program MBG tetap berlanjut tanpa mengorbankan kualitas dan keselamatan penerima manfaat.***