Selain hilangnya fleksibilitas kerja, masalah biaya dan akses childcare juga memperburuk keadaan. Pada 2025, pendanaan federal untuk pusat penitipan anak berkurang drastis, memaksa banyak tempat tutup atau menaikkan tarif. Kondisi ini diperburuk oleh deportasi massal, mengingat sekitar 20% tenaga kerja di sektor ini adalah imigran.
Akibatnya, biaya pendidikan anak yang sempat turun pada periode 2023–2024 kembali melonjak sejak akhir 2024. Kenaikan sebesar 3,3% pada kuartal IV 2024 terus berlanjut sepanjang 2025, membuat banyak keluarga kesulitan menyusun anggaran yang masuk akal.
Dampak pada Dunia Usaha
Hilangnya pekerja perempuan dalam jumlah besar berdampak langsung pada perusahaan. Studi "Survei Walr" terhadap karyawan di Microsoft, SpaceX, dan Apple pada 2024 menunjukkan bahwa kebijakan wajib kembali ke kantor memicu eksodus talenta senior.
Hampir dua pertiga eksekutif C-suite mengakui kebijakan ini membuat lebih banyak perempuan keluar, yang pada gilirannya menyulitkan proses rekrutmen dan menurunkan produktivitas.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang mengabaikan kebutuhan fleksibilitas justru merugikan diri sendiri. Kehilangan tenaga kerja berpengalaman tidak hanya mengurangi kinerja, tetapi juga mengancam keberlanjutan inovasi di dalam perusahaan.
Perspektif Psikologi: Mengapa Banyak Perempuan Memilih Mundur?
Fenomena mundurnya perempuan dari dunia kerja dapat dijelaskan dari sudut pandang psikologis. Dalam teori beban ganda (double burden), perempuan sering kali memikul dua peran sekaligus: sebagai pekerja dan pengasuh.
Ketika dukungan struktural seperti fleksibilitas kerja atau layanan childcare terjangkau menghilang, beban ini menjadi terlalu berat.
Secara kognitif, otak akan melakukan evaluasi biaya-manfaat. Jika biaya emosional, fisik, dan finansial untuk tetap bekerja melebihi manfaatnya, keputusan mundur menjadi pilihan rasional.
Faktor stres kronis akibat tekanan waktu, kelelahan, dan rasa bersalah terhadap anak juga berperan besar dalam memengaruhi keputusan ini.
Dari sudut pandang kesehatan mental, hilangnya kendali terhadap waktu dan rutinitas meningkatkan risiko kelelahan emosional (burnout), depresi ringan, hingga menurunnya rasa percaya diri.
Dengan mundur dari pekerjaan, sebagian perempuan berharap dapat memulihkan keseimbangan hidup, meski harus mengorbankan pendapatan dan perkembangan karier.
Baca Juga: Megawati Singgung Anak Muda Kurang Paham Sejarah, Mendikdasmen Siapkan Strategi Perkuat Nasionalisme
Fenomena 2025 ini menjadi peringatan bagi dunia kerja bahwa kebijakan ketenagakerjaan harus mempertimbangkan keseimbangan antara produktivitas dan kebutuhan hidup pekerja.