Dalam konferensi pers yang dilakukan pada hari Jumat lalu, 25 Agustus 2023, keluarga Takashima Shingo menggambarkan rasa putus asa dan kesedihan yang mendalam atas kematiannya.
Sebelum bunuh diri, ibu Takashima Shingo, Junko Takashima, mengatakan jika profesi anaknya sebagai dokter terlalu sulit dan tidak ada yang mau membantunya.
Lewat sebuah video yang dipublikasikan oleh media lokal pada konferensi pers tersebut, Junko mengatakan, "Tidak ada yang memperhatikan anakku, dia terus memberitahuku tentang sulitnya menjadi dokter di Jepang. Saya pikir lingkungan menempatkannya hidupnya bagai ditepi jurang,” tangis sang ibu.
Baca Juga: Waspada! Ini 3 Komplikasi Serius Akibat Alergi Kacang
"Anak saya tidak akan menjadi dokter yang baik hati, dia juga tidak akan mampu menyelamatkan pasien dan berkontribusi kepada masyarakat. Namun, saya sangat berharap lingkungan kerja para dokter ditingkatkan sehingga hal yang sama tidak terjadi lagi di masa depan," tambahnya
Saudara laki-laki Takashima, yang tidak disebutkan namanya, juga berbicara dalam konferensi pers tersebut, dengan mengatakan, "Tidak peduli bagaimana kita melihat jam kerja saudara laki-laki saya, 200 jam (lembur) adalah angka yang luar biasa, dan menurut saya rumah sakit tidak akan mengambil tindakan yang diperlukan. pendekatan yang solid terhadap manajemen ketenagakerjaan."
Baca Juga: Air Soda vs Air Mineral : Ketahui Manfaat Serta Efek Samping Dari Air berkarbonasi
Tanggapan Pihak Rumah Sakit
Dalam konferensi pers pekan lalu, Konan Medical Center menolak hal tersebut.
Juru bicara rumah sakit mengatakan, "Ada kalanya (dokter) menghabiskan waktu belajar sendiri dan tidur sesuai kebutuhan fisiologisnya. Karena tingkat kebebasan yang sangat tinggi, tidak mungkin menentukan jam kerja secara akurat," kata juru bicara tersebut.
Juru bicara rumah sakit juga mengatakan, "Kami tidak menganggap kasus ini sebagai kasus bunuh diri karena lembur bekerja dan kami memilih untuk berhenti mengomentari hal ini di masa mendatang.”
Baca Juga: Benarkah Pengidap Dermatitis Atopik Rentan Terkena Alergi Kacang?
Penyebab Bunuh Diri di Jepang
Sejumlah kasus kerja berlebihan telah menjadi berita utama nasional dan global selama bertahun-tahun.
Bahkan seorang pejabat Jepang menyimpulkan pada tahun 2017 jika ada seorang reporter politik berusia 31 tahun, yang meninggal pada tahun 2013, karena mengalami gagal jantung usai menghabiskan waktu berjam-jam di tempat kerja.
Dia telah bekerja lembur selama 159 jam pada bulan sebelum kematiannya, menurut NHK.
Masalahnya masih sangat besar juga terjadi di sektor layanan kesehatan.
Baca Juga: Gusi Bengkak: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya
Sebuah studi pada tahun 2016 menemukan bahwa lebih dari seperempat dokter rumah sakit penuh waktu bekerja hingga 60 jam seminggu, sementara 5% bekerja hingga 90 jam, dan 2,3% bekerja hingga 100 jam.
Laporan lain, yang diterbitkan tahun ini oleh Association of Japan Medical Colleges, menemukan bahwa lebih dari 34% dokter memenuhi syarat untuk tingkat jam lembur khusus yang melebihi batas atas 960 jam per tahun.
Reformasi undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan lembur pada tahun 2018 hanya menunjukkan sedikit kemajuan, dimana pemerintah melaporkan pada tahun lalu jumlah rata-rata jam kerja tahunan per karyawan secara bertahap menurun.
Baca Juga: Susu Mentah Bisa Bikin Kulit Glowing Bak Artis Korea ? Ternyata Begini Rahasianya
Namun, meskipun jumlah jam kerja sebenarnya telah menurun, jam kerja lembur mengalami fluktuasi selama bertahun-tahun.
Sejak lama, Jepang telah berjuang melawan budaya kerja berlebihan yang terus-menerus, karena karyawan di berbagai sektor melaporkan jam kerja yang berat, rasa hormat kepada perusahaan, dan tekanan tinggi dari atasan.
Dampak kesehatan mental dan meningkatnya stres juga telah menyebabkan fenomena yang disebut karoshi atau kematian karena terlalu banyak bekerja yang menghasilkan undang-undang yang bertujuan untuk mencegah cedera dan kematian akibat jam kerja yang berlebihan. ***