SURATDOKTER.com - Kasus dugaan perundungan terhadap peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kembali mencuat dan memantik perhatian publik.
Tragedi meninggalnya dr Aulia Risma, peserta PPDS Universitas Diponegoro (UNDIP) yang juga bertugas di RSUD Kardinah Tegal, menjadi titik balik sorotan terhadap sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Selasa, 29 April 2025, menyampaikan pandangan kritisnya mengenai sistem pembelajaran di PPDS yang dinilainya turut membuka celah terjadinya perundungan.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar proses pembelajaran di program spesialis justru dijalankan oleh para senior, bukan oleh dosen atau guru formal sebagaimana mestinya.
Menurut Budi, para pengajar utama dalam program pendidikan spesialis seharusnya adalah dosen yang memiliki kompetensi dan tanggung jawab akademik.
Namun, karena jadwal praktik para dosen yang padat, tanggung jawab mengajar itu kerap dialihkan kepada dokter yang lebih senior di rumah sakit. Kondisi ini memicu ketimpangan pengawasan dan membuat peserta PPDS rentan terhadap praktik perundungan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam sistem pendidikan berbasis rumah sakit (hospital based), sebenarnya terdapat mekanisme penilaian kinerja peserta secara obyektif. Menkes mencontohkan bahwa keberhasilan seorang residen dalam menjalankan prosedur medis, seperti operasi usus buntu, bisa tercatat dan dievaluasi secara digital. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penilaian terhadap peserta masih rentan dipengaruhi faktor non-akademik, termasuk relasi kuasa dengan senior.
Menkes menyoroti bahwa ketika dosen tidak dapat terlibat langsung dalam proses pembelajaran, kontrol akademik menjadi lemah. Akibatnya, suasana pendidikan menjadi bergantung pada relasi antarsesama dokter, yang kadang tidak profesional. Hal inilah yang disebutnya sebagai salah satu akar maraknya perundungan di lingkungan PPDS.
Budi juga menekankan pentingnya reformasi dalam sistem pendidikan dokter spesialis agar lebih transparan dan akuntabel. Dengan penerapan sistem evaluasi berbasis data dan pengawasan aktif dari pengajar resmi, diharapkan tidak ada lagi peserta yang lulus atau gagal hanya karena suka atau tidak suka dari senior. Pendidikan dokter, menurutnya, harus kembali ke esensi akademik dan menjauh dari budaya senioritas yang merugikan.
Kasus yang menimpa dr Aulia telah menjadi peringatan keras bagi dunia kedokteran Indonesia. Bukan hanya mengenai nasib satu individu, tapi menyangkut keamanan dan kualitas pendidikan dokter di masa depan. Jika sistem pendidikan tidak segera diperbaiki, tragedi serupa berpotensi terulang dan mencederai profesi mulia ini.
Kini saatnya pemerintah, institusi pendidikan, dan rumah sakit untuk duduk bersama merancang perubahan mendasar. Pengawasan terhadap praktik belajar di lapangan, pemisahan peran antara senior dan pengajar resmi, serta penyediaan saluran aduan yang aman dan cepat adalah beberapa langkah konkret yang perlu segera diambil.
Reformasi di dunia pendidikan kedokteran bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Bukan hanya untuk menghormati memori dr Aulia, tapi juga demi menciptakan lingkungan belajar yang sehat, manusiawi, dan bermartabat bagi generasi dokter Indonesia selanjutnya.***
Artikel Terkait
Kasus Bully Merajalela! Siswi di Cimahi Bunuh Diri Karena Depresi di Bully 3 Tahun!
Keluarga Bantah Aulia Risma Bukan Bunuh Diri, Melainkan Ada Masalah Kesehatan
Dikenang Pintar dan Baik Hati, Ini Profil Lengkap Alm. Aulia Risma
Menkes Budi Dicecar usai Sebut Skandal Perundungan dr Aulia Lebih Besar Ketimbang Kasus Pemerkosaan RSHS
Respon Menkes Budi Soal Tersangka Perundungan dr Aulia Ditangguhkan Kelulusannya usai Viral: Itulah Indonesia