Said juga menilai, konsep dapur sekolah akan memperpendek rantai distribusi, mengurangi risiko makanan basi akibat jarak tempuh yang jauh, serta membuka lapangan kerja lokal melalui pengelolaan kantin oleh masyarakat sekitar.
Meski dinilai ideal, Kepala BGN Dadan Hindayana mengingatkan bahwa pelaksanaan di lapangan tidak sesederhana konsep di atas kertas.
Ia menjelaskan bahwa banyak kasus keracunan terjadi karena kesalahan waktu memasak dan distribusi, di mana makanan dimasak terlalu dini dan baru dikirim berjam-jam kemudian.
Contohnya di Cipongkor, KBB, ditemukan dapur yang memasak pukul 21.00 malam dan baru mendistribusikan keesokan siang, sehingga makanan melewati batas aman konsumsi.
BGN kini menegaskan aturan bahwa waktu antara memasak dan distribusi tidak boleh lebih dari empat jam.
Selain itu, pergantian pemasok bahan baku mendadak di beberapa daerah seperti Banggai juga disebut menjadi penyebab turunnya kualitas makanan.
Ke depan, setiap pergantian pemasok harus dilakukan dengan sistem verifikasi bertahap untuk memastikan keamanan bahan pangan.
Baca Juga: Kemenkes Turun Tangan Awasi Program MBG: SPPG Wajib Punya SLHS, Puskesmas dan UKS Dilibatkan
Kasus di Bandung Barat menjadi pengingat keras bahwa program sosial berskala nasional seperti MBG membutuhkan pengawasan lintas sektor, mulai dari standar dapur, sumber bahan pangan, hingga mekanisme distribusi.
Dengan diterapkannya standar baru dan munculnya gagasan dapur sekolah, publik berharap program MBG benar-benar dapat meningkatkan kualitas gizi anak Indonesia tanpa mengorbankan keselamatan.
Reformasi besar ini juga menjadi momentum penting untuk membangun kemandirian pangan sekolah yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.***